IAIN LANGSA

IAIN Langsa
Salah Paham Terhadap Nabi-Nabi | Dr. Budi Juliandi, M.A.

Tulisan ini merupakan catatan penulis selama dua hari saat menjadi peserta kursus reguler paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam bahasa Arab dengan instruktur seorang ulama dan intelektual asal Libanon, Dr. Muhammad Utsman, yang dilaksanakan di Badan Pengembangan Pendidikan Non-Formal dan In-Formal (BPPNI) Medan 15-16 Mei 2012. Setidaknya ada dua permasalahan utama yang disampaikan pada acara bertemakan Menangkal Paham Sesat dan Paham Ahlussunnah Palsu tersebut. Pertama, masalah penyimpangan pemahaman keagamaan secara umum, dan kedua, masalah kesalahpahaman  terhadap para Nabi. Masalah yang kedua inilah yang akan penulis uraikan kembali melalui tulisan ini.

Salah Paham terhadap Yusuf a.s

Dipahami bahwa Yusuf sempat tergoda dan ingin berzina. Al-qur’an menyebut: “Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya…” QS Yusuf [12:24]. Pemahaman seperti ini harus diluruskan. Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Yusuf mempunyai keinginan yang buruk terhadap perempuan tersebut. Yusuf tidak mungkin ingin melakukan tindakan asusila karena dia adalah seorang Nabi. Kata hamma biha pada ayat di atas tidaklah diartikan bahwa Yusuf berkehendak secara seksual yang menjadi pintu masuk perbuatan zina. Kata hamma biha artinya bahwa pada saat perempuan itu berkehendak kepada Yusuf, maka Yusuf pun berniat mendorong tubuh perempuan itu (hamma bi daf’iha). Namun jika itu ia lakukan, maka konsekuensinya adalah akan mempersulit dirinya sendiri jika perempuan tersebut bermaksud menuduhnya telah berusaha melakukan kekerasan seksual. Seorang perempuan yang dalam situasi seperti ini biasanya spontanitas menarik baju laki-laki yang akan melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap dirinya. Allah berfirman: “…sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian…” QS Yusuf [12:24]. Oleh karena itu, Yusuf pun tidak mewujudkan niatnya untuk mendorong tubuh wanita itu setelah beliau melihat petunjuk dari Allah Swt.

Kenyataannya dapat dilihat bahwa baju yang dikenakan Yusuf tidak koyak di bagian depan, tapi di bagian belakang. Dengan robeknya baju Yusuf di bagian belakang terbantahkanlah anggapan bahwa Yusuf berkehendak secara seksual dan tergoda melakukan perbuatan asusila. Sebaliknya, ini memperkuat bukti bahwa perempuan itulah yang benar-benar ingin berusaha menggoda Yusuf agar dapat melakukan perbuatan zina. Alqur’an menceritakan bahwa Yusuf berada pada posisi yang benar dan perempuan tersebutlah yang nyata-nyata salah. …Wahai Yusuf! “Lupakanlah ini, dan (istriku) mohonlah ampunan atas dosamu, karena engkau termasuk orang yang bersalah.” QS Yusuf [12:29]

Salah Paham terhadap Ibrahim a.s

Nabi Ibrahim dikatakan mengalami keragu-raguan (skeptic) terhadap Tuhannya. Alqur’an menyebut: “Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Hadza Rabbi?”. Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Hadza Rabbi?” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Hadza Rabbi, ini lebih besar?” tetapi ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” QS Al-An’am [6:76-78].

Pernyataan Ibrahim hadza rabbi haruslah dipahami sebagai istifhamun inkariyyun (sebuah pertanyaan untuk menolak) yang kalau diartikan menjadi,  “inikah Tuhanku?” Ungkapan, “inikah Tuhanku?” mengandung arti bahwa ‘sebenarnya ini bukan Tuhanku’. Sangat jelas berbeda jika ungkapan hadza rabbi diartikan, “ini Tuhanku!” atau “ini pasti Tuhanku!”

Sebagai seorang bapak monoteisme sejati, Ibrahim tentu tidak pernah mempertuhankan bintang, bulan dan matahari sebagaimana yang dilakukan kaum Shabi’ah di masanya, karena beliau selalu dibimbing dan diberi petunjuk oleh Allah Swt. “Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah Kami berikan kepada Ibrahim petunjuk, dan Kami telah mengetahui dia.” QS Al-Anbiya’ [21:51]

Ayat di atas menolak pemahaman bahwa Ibrahim sempat mengalami fase skeptis/ragu tentang siapa sebenarnya Tuhan yang harus ia sembah. Hanifan  adalah sebutan bagi Ibrahim yang tidak mungkin jatuh dalam kesyirikan, skeptisisme, konon lagi menjadi sesat. Ibrahim tidaklah memperoleh pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa melalui suatu proses perjuangan berpikir sejak muda dengan cara observasi dan penarikan kesimpulan dari pengamatannya tentang gejala alam dan kehidupan yang dilihatnya sebagaimana yang dipahami orang. Ibrahim berbeda dengan manusia lainnya yang dalam spiritualitasnya melakukan upaya pencarian hingga sampai kepada titik terang tentang siapa Tuhannya. Ibrahim adalah seorang pilihan Tuhan yang terbimbing dan tidak mengalami fase skeptisisme dalam hal bertuhan. “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus (hanif), muslim, dan dia tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik (politeis). QS Ali ‘Imran [2:67].

Salah Paham terhadap Muhammad Saw


Salah paham terhadap Nabi juga terjadi pada Nabi Saw. Perkawinan Nabi dengan lebih dari empat orang perempuan dan ketidakmampuannya dalam membaca dan menulis (ummiyyat an-nabiyyi) terus dipertanyakan. Nabi Saw dihujat sebagai orang yang menggandrungi banyak perempuan (walu’u al-qalbi bi an-nisa’). Padahal salah satu tujuan utama perkawinan beliau adalah dalam rangka asistensi dakwah kaum perempuan di mana istri-istri beliau menjelaskan kepada perempuan-perempuan lain tentang Islam.  Ini berbeda dengan yang dibayangkan oleh orang di luar Islam bahwa perkawinan Nabi Saw tersebut untuk bersenang-senang dalam gairah seksual (to imagine the Prophet basking decadently in sexual delight). Menurut Karen Amstrong, dalam Islam: A Short History: 13, di Barat, seorang yang memiliki banyak istri dianggap melakukan sebuah kecabulan. Oleh karena itulah maka orang-orang di sana menghujat Muhammad karena memiliki lebih dari satu istri. (Muhammad’s numerous wives have occasioned a good deal of prurient interest in the West).

Hujatan lainnya yang dialamatkan kepada Nabi Saw adalah pada masalah ummiyyat an-nabiyyi (ketidakmampuan Nabi Saw dalam baca-tulis). Sebenarnya, label Nabi yang ummiy bukanlah sesuatu yang menghinakan dirinya, menjatuhkan kedudukannya sebagai seorang Nabi. Ummiyyat an-nabiyyi bukanlah sebuah kelemahan, tapi justru merupakan kekuatan untuk menjawab tuduhan bahwa Muhammad membuat Alqur’an. Allah Swt berfirman: “Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya (Alqur’an), tidak juga menulis satu tulisan dengan tanganmu. (Andai kata kamu pernah membaca dan menulis) pasti akan benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari-(mu).” QS Al-‘Ankabut [29:48]

Penutup

Salah paham terhadap para Nabi sering kita temukan pada tulisan-tulisan baik dari luar Islam maupun dari orang Islam sendiri. Sebagai manusia-manusia pilihan, para Nabi adalah orang-orang yang terbimbing langsung oleh Allah Swt QS Al-Baqarah [2:130, 247], Al-A’raf [7:144], Ad-Dhuha [93:7]. Sekalipun mereka melakukan kesalahan, tentu karena mereka juga manusia, namun tidaklah seperti kesalahan yang kita lakukan. Akan lebih tepat kita menyebutnya suatu kekhilafan, kealpaan atau lupa (nasiya) yang tidak dilakukan dengan sengaja.  “Dan sungguh telah Kami pesankan kepada Adam dahulu, tetapi dia lupa… QS Taha [20:115]. Wallahu a’lam bi as-shawab.

 

Penulis : Budi Juliandi, MA