IAIN LANGSA

IAIN Langsa
Peace You And Justice2 | Dr. H. Zulkarnaini, M.A.

Peace (bahasa Inggris) artinya damai, tenteram, aman, tenang, sejahtera dan yang semakna dengannya. Sedangkan justice artinya keadilan. "Damai" dapat dibahasakan dalam banyak kata; ia bersifat elegan, dinamis, lentur dan berdialektika dengan perubahan.

 "Damai Itu Indah" telah menjadi semacam kata-kata emas dan lambang kesepakatan pihak-pihak yang pernah berseteru di Aceh beberapa masa silam, terutama sekali disosialisasikan oleh TNI dalam rangka mengukuhkan bahwa telah tercapai sebuah kesepahaman dalam rangka membina kehidupan masyarakat Aceh yang sejahtera tanpa konflik lagi. Damai itu memang indah, tapi harus disadari bahwa untuk mencapai kehidupan damai yang sejati harus dimulai dari keadilan. Ibn Taymiyyah pernah berucap bahwa sebuah negara yang adil akan mendapatkan pertolongan Allah walaupun ia kafir, sedangkan negara yang zalim tidak akan mendapat pertolongan Allah walaupun ia mukmin. (Hal ini akan kita diskusikan lebih jauh pada kesempatan lain).

Keadilan adalah keseimbangan; ia juga dapat dimaknakan dalam kata-kata yang bervariasi. Keadilan itu adalah ketegasan, komitmen, tidak bias, tidak diskriminatif, jujur, objektif, dan yang semakna dengannya. Para fuqaha' dan ahli hadis memaknakan keadilan dengan kesalehan. Keadilan dapat membawa kepada kedamaian karena ia secara psikologis mengindikasikan sikap seia sekata, ringan sama dipikul, berat sama dijinjing. Keadilan memang tidak berarti sama; keadilan berarti penempatan segala sesuatu pada tempatnya secara seimbang. Keseimbangan ini membawa kepada keharmonisan; keharmonisan menciptakan keindahan dan menyejukkan hati. "Seia sekata" adalah kata tradisional yang menggambarkan kehidupan persahabatan antara dua orang atau lebih dengan karakteristik di mana mereka bekerja bersama untuk mencapai suatu tujuan; atau kehidupan sekelompok masyarakat yang saling mendukung antara berbagai perangkatnya untuk meraih sebuah cita-cita; "seia sekata" juga sering digunakan untuk menggambarkan kehidupan sebuah rumah tangga harmonis di mana suami dan isteri saling berbagi suka dan duka, saling menghormati, menyayangi, saling pengertian dan saling membantu. Jadi keadilan adalah kemampuan memaknai kehidupan ini secara alami dan memenuhi setiap porsi sesuai kebutuhannya. Keadilan adalah kebijaksanaan dalam mengurus kehidupan.

Apakah perdamaian dan keadilan berjalan beriringan? Kadang-kadang tidak. Apabila keadilan "dipaksakan" maka perdamaian sering kali terganggu, sebab perspektif kita tentang keadilan kadang-kadang tidak persis sama. Demikian juga jika perdamaian ingin benar-benar dicapai, maka akan ada sisi-sisi tertentu dari keadilan yang harus dikorbankan. Kadang-kadang, antara keadilan dan perdamaian, kita dituntut untuk memilih salah satunya dan mengurbankan yang lain. Ingin adil, maka tidak damai; ingin damai maka tidak adil. Mungkin ini telah merupakan bagian dari dinamika kehidupan di dunia ini di mana keadilan yang hakiki dan perdamaian yang hakiki tidak akan pernah benar-benar terjadi.

Dalam kehidupan keseharian, umpamanya, jika dua orang bersengketa, maka tentu saja masing-masing memandang pihaknyalah yang benar dan ingin mengalahkan pihak yang lain dalam persidangan, padahal kita maklum bahwasanya di antara kedua mereka hanyalah satu pihak saja secara hakiki yang benar. Dalam kasus seperti ini, bisa jadi salah satu pihak di antara mereka telah berdusta, atau masing-masing dari keduanya memandang kebenaran dengan perspektif berbeda. Jika demikian halnya maka keadilan yang datang dari pihak ketiga (hakim, misalnya) tetap menimbulkan konflik atau ketidaknyamanan bagi masing-masing pihak. Pihak yang "menang" akan memandang lawannya dengan kesan negatif, sedangkan yang "kalah" akan melihat hakim dengan pandangan negatif. Jadi, tuntutan terhadap penegakan keadilan setegas-tegasnya dan "seadil-adilnya" pada akhir akan membawa kepada keretakan perasaan damai di tengah-tengah kehidupan sesama manusia.

Jadi, keadilan harus diabaikan ...? Dalam konteks persaudaraan, keadilan harus diberikan makna lebih dinamis, tidak sekedar memastikan bahwa "kita" sendiri telah mendapatkan hak kita, tetapi justru yang lebih penting adalah memastikan bahwa "orang lain" telah mendapatkan haknya dan kita telah melakukan kewajiban kita dengan baik. Keadilan tidak boleh semata-mata diberikan penekanan pada tuntutan terhadap hak-hak, tetapi lebih pada pemenuhan kewajiban-kewajiban. Pemahaman seperti inilah yang sering diabaikan, sehingga keadilan seolah-olah bertentangan dengan perdamaian. Seperti telah disinggung di atas, menurut para fuqaha' dan ahli hadis, pengertian orang adil adalah sama dengan orang shalih, yakni orang yang baik, jujur, rendah hati, amanah, taat kepada Allah dan Rasul. Orang adil adalah orang yang seimbang antara pikiran, amalan dan hatinya. Masyarakat yang adil seperti ini sebenarnya dapat menggeser peran lembaga Peradilan atau Mahkamah tempat penyelesaian konflik, sebab konflik dalam masyarakat seperti sudah jarang terjadi dan kalaupun terjadi, ia tidak terlalu membutuhkan pada lembaga Pengadilan untuk menyelesaikannya. Masyarakat yang adil seperti ini adalah sekaligus masyarakat yang damai. Konflik di dalamnya tidak timbul secara kentara, sebab di dalamnya orang-orang tidak terlalu menekankan pada hak-hak dirinya, tetapi selalu memperhatikan apa yang menjadi hak orang lain. Sedangkan soal kewajiban, tekanannya adalah pada diri sendiri; mereka tidak terlalu sibuk memprotes kewajiban orang lain.

Dalam masyarakat kita, Indonesia atau Aceh, sepertinya mahkamah atau lembaga peradilanlah yang paling sibuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Lembaga inilah yang paling berwibawa, keramat, ditakuti, dan gedungnya harus dibuat dalam bentuk yang hebat dan mengagumkan. Inilah lembaga yang paling tinggi posisinya di tengah-tengah kehidupan kita, sebab ia mengurus masalah-masalah masyarakat dan menegakkan keadilan. Pertanyaannya, sudahkah keadilan itu tegak? Keadilan yang sesungguhnya tidak dapat ditegakkan semata-mata dengan lembaga seperti itu, tetapi dengan kemuliaan akhlak para warga negara. Keadilan yang kering, yang bersifat hitam putih, yang mengurus soal siapa menang dan siapa kalah, tidak akan mengantarkan warga negara kepada kehidupan yang damai. Keadilan seperti itu selalu bertentangan dengan cita-cita perdamaian dan persaudaraan. Itu adalah keadilan yang tidak pernah mau berkurban, yang selalu mau menang sendiri; keadilan yang arogan ... Lembaga seperti itu memang sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang belum beradab. Wallahu a'lam.

Langsa, 13 Juni 2011
Zulkarnaini Abdullah