IAIN LANGSA

IAIN Langsa
Frasa Umat Islam dalam Sejarah Politik Indonesia Modern

Seorang mubalegh tiba-tiba mengirimkan pesan melalui fasilitas layanan pesan WhatsApp, untuk mengajak teman-temannya berdiri melawan rezim Jokowi. Menurutnya, rezim itu telah membatalkan lebih dari 3000 Perda Syariah, dan itu jelas menyakiti hati umat Islam. Mubalegh tersebut-pun tanggung-tanggung. Dia menyeru kepada ummat Islam untuk melawan rezim, yang di dalam pikirannya, telah berbuah zalim.

 

Munarman, tokoh uatma FPI, pun demikian. Dalam satu kunjungan ke Harian Kompas, yang didorong akibat pemberitaan ibu Saeni yang dagangannya dibongkar oleh Satpol PP, yang kemudian mendapat simpati daripada netizen secara luas. Munarman berang. �Apa-apaan ini!� kira-kira begitu geramnya. Dalam kunjungan itu, dengan nada yang intimidatif, Munarman mengatakan �Ini kompas, kalau begini terus pemberitaannya, umat Islam akan marah� kira-kira begitu lontaran dari Munarman.

Pertanyaan kemudian, yang patut kita renungkan bersama, adalah siapa yang dimaksud dengan frasa Umat Islam itu? Mengapa mubalegh yang saya ceritakan di atas, dan juga Munarman, tersebut dengan lantangnya menyeru supaya umat Islam bergerak dan melawan.

Lalu siapakah yang dimaksud dengan umat Islam? Ini memang pertanyaan yang kompleks. Bila yang dimaksud adalah mereka yang yang memiliki KTP beragama Islam, maka di Indonesia terdapat lebih dari 80% muslim di Indonesia. Namun, bila yang dimaksud umat Islam berdasarkan prefensi politik maka ukurannya adalah semana suara yang dikumpulkan oleh partai Islam. Pada pemilu terakhir, tahun 2014, suara partai Islam bila dikumpukan hanya mencapai angka 14,78%.

Lalu, bila yang dimaksud umat Islam yang adalah mereka yang bergabung dengan ormas keagamaan, maka cara menghitungnya menjadi lebih rumit lagi. Sebab NU saja diklaim memiliki 40 juta anggota, Muhammadiyah 30 juta anggota, selebihnya tentu tidak sebnayak dua organisasi besar tersebut. Saya sendiri tidak tahu berapa anggota dari organisasi �nyaring� semacam FPI, HTI atau organisasi transnasional lainnya. Tapi tentu saja, jumlahnya jauh lebih sedikit dari dua organisasi di atas.

Kalau demikian, bagaimana kita menentukan siapa sebenarnya umat Islam dalam sejarah politik indonesia modern ini. Maka untuk menjawab itu, kita harus kembali melalui lorong sejarah yang panjang, sebab frasa tersebut lahir dalam sebuah pergulatan ideologi yang panjang. Mulai dari zaman pergerakan nasional, revolusi sampai pada perdebatan politik.

Dalam lapangan politik, frasa �umat Islam� tumbuh dari apa yang disebut sebagai politik aliran. Sebuah kajian politik yang diterjemahkan oleh Cilfford Gerertz sebagai dukungan untuk satu partai beragam organisasi secara sukarela disebabkan karena ada kesamaan ideologi (Fachri Ali dan Iqbal Abdulrauf, 1988: 227).

Politik aliran yang berkembang dan menemukan momentumnya dikerucutkan pada 3 ideologi yang tumbuh secara kuat: Islam, Nasionalisme sekuler dan Marxisme (Syafii Maarif, 2006: 123), terutama pada berlangsungnya demokrasi liberal di Indonesia. Dalam kultur sosial politik, keadaan umat Islam adalah diawali ketika tumbuhnya perasaan dipinggirkan, yang dimulai sejak masa kolonial, menimbulkan perasaan, seperti yang ditulis Yudi Latif (2007) sebagai, �ingatan pedih.�

Ingatan akan penyingkiran dan peminggiran itu kemudian diproduksi sedemikian rupa, karena paska kemerdekaa, kembali dizhalimi oleh dua rezim yang kemudian memimpin negeri ini. Produksi ini kemudian menimbul perasaan defensif dan rasa curiga kepada rezim yang selalu saja dianggap akan merugikan aspirasi ummat Islam itu sendiri. Padahal pertumbuhan kelas menengah yang disokong oleh kelompok muslim diakhir rezim Orde Baru, tidak dilihat sebagai kenyataan sosiologis karena ada peristiwa politik radikal yang menghentikan proses tersebut.

Namun tentu masih saja ada harapan. Suara-suara nyaring, yang mengklaim aspirasi umat Islam adalah bukan kekuatan besar di negara ini. bahkan kita bersykur bahwa dua organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah tidak bersikap seperti dua contoh di awal tulisan saya itu. Dua organisasi ini benar-benar menjadi penyangga bangunan kebangsaan ini, yang sepanjang sejarahnya dibangun oleh beragam agama, suku, bangsa dan etnik. Karena kesadaran tinggi tentang kebangsaan dan kemanusiaan itulah membuat dua organisasi ini masih saja menjadi sebagai penjaga gawang bagi Indonesia untuk menapaki masa depannya.

 

Penulis : M. Alkaf, M.Si.