Ali Hasjmy: Awal Mula Aktifitas Politik dan Dunia Kepenulisannya
aSelepas menyelesaikan pendidikan tahap awal di Sumatera Barat, Ali Hasjmy kemudian menjadi guru di Perguruan Islam Seulimeum, lembaga ini pun kemudian juga diisi oleh tokoh intelegensia lainnya yang kemudian memiliki peran besar dalam revolusi sosial berikutnya di Aceh, yaitu Ahmad Abdullah dan Said Abu Bakar (Daud Remantan, 1984: 2410).
Perguruan Islam Seulimeum ini-lah yang kemudian menjadi pelopor pengusiran Belanda dari Aceh melalui serangan menjelang tengah malam yang menewaskan Controleur JC. Tiggelman (Ali Hasjmy, 1978: 37-39). Peristiwa penyerangan ini kemudian, tidak menjadi tonggak keluarnya Belanda dari dan masukknya Jepang ke Aceh, menjadi titik awal peran Ali Hasjmy dalam pergerakan politik di Aceh di kemudian hari dengan menjadi pemimpin Lasykar Rencong, sebuah divisi militer Pesindo Aceh yang memiliki peran besar sekitar tahun 1945-1949 (Ali Hasjmy, 1995: 154-172).
Peran Pesindo tersebut dapat dilihat dalam baik dalam hal politik, maupun militer. Secara politik, Pesindo memiliki kekuatan sebagai salah satu faksi yang memberi tekanan kepada pihak Jepang dan juga ikut mempertahankan Propinsi Aceh pertama, sedangkan secara militer, organisasi Pesindo, dengan Divisi Rencongnya, berhasil memberikan peran yang besar terhadap kemenangan Perang Medan Area dan juga menyelamatkan tambang minyak di Pangkalan Berandan (Ghazali, 1978: 20-23).
Pesindo menjadi organisasi yang sangat kuat, yang dibangun secara modern, karena organisasi ini memiliki struktur yang sangat rapi. Dalam Berita Conferentie Madjelis Pesindo Daerah Atjeh Ke IV, Langsa, 1947 disebutkan bahwa organisasi ini memiliki beberapa divisi yang sangat strategis, seperti militer yang dipimpin oleh Nyak Neh Lho`nga, bidang siasat yang dipimpin oleh Tgk. M. Ali Piyeung, maupun bidang penerangan yang dipimpin oleh A. Gani Mutiara.
Selain aktif dalam dunia pergerakan, Ali Hasjmy juga aktif dalam dunia kepenulisan dan mengarang. Bahkan melalui dunia mengaranglah, Hasjmy dapat menyelesaikan pendidikannya di Sumatera Barat, setelah sebelumnya, orang tuanya tidak mampu lagi membiayai akibat bangkrut:
Dengan sangat berkesan, melalui otobiografinya, Hasjmy menuliskan pengalamannya itu:
Tahun 1938, tahun pertama saya belajar di Al Jami`ah Al Islamiyah, adalah tahun percobaan berat bagi saya. Menjelang akhir 1938, orang tua saya (Teungku Hasyim bin Abbas) jatuh dalam perniagaan. Hal tesebut diberitahukan kepada saya dengan mengirim sebuah wesel untuk ongkos pulang. Dengan demikian, saya harus tidak melanjutkan studi. Berat, sungguh berat!
Malamnya saya shalat istikharah meminta tuntunan Allah atas keputusan yang akan saya ambil. Menjelang shubuh malam itu juga saya mengambil keputusan, yaitu tidak akan pulang ke Aceh, saya akan melanjutkan studi! Besoknya, saya mengirim surat kepada Ayah memberitahu tentang keputusan saya itu dan memohon doa restunya.
Biaya yang dikiri ayah untuk ongkos pulang, saya pergunakan sebaik-baiknya untuk belanja hidup, yang nyatanya cukup untuk tiga bulan dengan kadang-kadang (bahkan sering) makan hanya satu kali dalam sehari.
Masa-masa yang sulit mendorong mencari jalan keluar. Pada waktu sulit, Allah melapangkan jlan bagi hambanya yang tabah dan taat: Inna ma`al usri yusra (sungguh, kesulitan akan melahirkan kemudahan).
Kemudian, karena keadaan ekonomi yang sulit itulah, membuat Hasjmy mencari uang secara mandiri dengan aktif memproduksi berbagai karangannya. Dalam otobiografinya itu, Hasjmy menceritakan dia kemudian menulis dua karangan berikutnya; Dewan Sajak dan Melalui Jalan Raya Dunia yang diterbitkan oleh Centrale Courant dan N.V. Indische Drukkerij, setelah itu pula, novel Suara Azan dan Lonceng Gereja juga diterbitkan oleh N.V. Syarikat Tapanuli. Ketiga penerbit itu berada di Sumatera Utara.
Dengan diterbitkan karangan-karanganya tesebut, maka Hasjmy dapat memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pendidikannya, sehingga dapat menyelesaikan studinya dengan baik di Al Jamiah Al Islamiyah, Padang Panjang, Sumatera Barat.
Karena kemampuannya Ali Hasjmy dalam usaha mengarang, itu pula-lah membawanya kemudian diangkat oleh Pemerintah Jepang untuk membantu penerbitan surat kabar Aceh Sinbun, dan berikutnya Ali Hasjmy diangkat menjadi pemimpin umum setelah setahun pengangkatannya sebagai redaktur media tersebut (Ghazali, 1978: 15-16).
Bahkan ketika masih belajar di Padang, Hasjmy juga menjadi Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab majalah Matahari Islam, sebuah majalah yang diterbitkan oleh pelajar Al Jamiah Al Islamiyah seputar tema Kebudayaan Islam, pendidikan dan Kebangkitan Islam (Hasjmy, 1984: 57)
Surat kabar Aceh Sinbun ini kemudian memiliki peran besar dalam mengambil posisi politik untuk mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Seperti yang ditulis oleh H.A. Ghazali, dalam biografi paling awal tentang Ali Hasjmy, bahwa setelah mendapat berita Proklamasi pada tanggal 21 Agustus 1945, maka di bertempat di ruangan redaksi Aceh Sinbun, dipimpin oleh Ali Hasjmy, yang saat itu menjabat sebagai pimpinan media tersebut, diadakan rapat yang dihadiri oleh 10 pemuda Indonesia terkemuka untuk menentang kembalinya Belanda ke Aceh.
Setelah selesai Perang Dunia Ke-II, Aceh Sinbun berubah nama menjadi surat kabar Semangat Merdeka, dalam tulisan Ghazali di atas disebutkan bahwa media tersebut memiliki jasa besar dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan dengan memuat berita mengenai Pemerintah Pusat di Yogyakarta dan perjuangan orang Aceh dalam melawan agresi-agresi Belanda.
Penulis : M. Alkaf, M.Si.
Tulisan sudah pernah dimuat di bung-alkaf.com